Kontradiktif, Gagal Bayar Utang, Tapi Ngaku Kondisi Keuangan Perusahaan Baik

JAKARTA – Pernyataan gagal bayar (cross default) atas seluruh surat utang senilai Rp 1,4 triliun yang diterbitkan PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM) sudah berjalan sebulan. Hingga kini, belum jelas mengenai skema penyelesaian yang akan dilakukan TDPM atas seluruh surat utangnya tersebut.

Dari informasi yang diperoleh, perusahaan petrokimia tersebut tengah melakukan negosiasi dengan beberapa pemegang surat utang atau bondholder.

Saat dikonfirmasi, Direktur Utama TDPM Paulus Harjono tidak menjawab pertanyaan media dan meminta pertanyaan disampaikan ke penasihat keuangan TDPM, yakni Hendry Kurniadi dari SJ Investment & Advisory. Adapun Hendry Kurniadi dari SJ Investment & Advisory menyampaikan, TDPM menawarkan penyelesaian dengan memperpanjang tenor hingga lima tahun dengan kupon bunga 4%, kepada bondholder.

Namun, informasi dari beberapa investor, proposal penyelesaian yang diajukan TDPM dinilai tidak optimal dan cenderung merugikan investor yang menjadi bondholder Medium Term Notes (MTN) perusahaan tersebut. Selain tenor yang terlalu lama, kupon bunga yang ditawarkan juga sangat rendah dan jauh di bawah kupon bunga saat penerbitan MTN tersebut sebesar 10,5%. Bahkan, kupon bunga tersebut jauh dibawah bunga kredit perbankan, serta kupon bunga obligasi secara umum.

Semua itu berbanding terbalik dengan kondisi perusahaan. Pada keterbukaan informasi ke bursa, Mei 2021, manajemen TDPM menyatakan kondisi fundamental perusahaan masih baik. Bahkan, operasional dan produksi perusahaan masih berjalan normal. Terlebih, kendati terimbas covid-19, pasar petrokimia nasional sejatinya tidak mengalami penurunan tajam pada tahun lalu, dibandingkan sektor usaha lainnya. Situasi tersebut yang membuat investor para bondholder meyakini, perusahaan mampu memberikan skema penyelesaian yang lebih baik.

Para pemegang surat utang berharap keseriusan manajemen TDPM dalam menyelesaikan kewajibannya. Setidaknya ada dua perusahaan, yaitu PT Mega Asset Management dan PT Mandiri Manajemen Investasi (MMI) yang menjadikan surat utang TDPM sebagai underlying reksadana yang diterbikannya. Selain itu, info yang beredar, ada korporasi besar yang turut memborong surat utang TDPM lainnya.

Tercatat, ada lima jenis surat utang yang diterbitkan TDPM, dan seluruhnya gagal bayar. Yaitu,  MTN I senilai USD 20 juta, jatuh tempo 18 Mei 2021, MTN II, senilai Rp 410 miliar jatuh tempo 27 April 2021, MTN III senilai Rp 250 miliar jatuh tempo 4 Juli 2021, Obligasi I senilai Rp 100 miliar jatuh tempo 8 Januari 2022 dan Obligasi II senilai Rp 400 miliar jatuh tempo 28 Juni 2022.

Pengamat Pasar Modal Kiswoyo Adi Joe mengatakan, penerbitan surat utang adalah hal yang wajar dalam bisnis. Namun, ditekankan oleh Kiswoyo, manajemen yang baik adalah manajemen yang sudah bisa mengantisipasi kewajibannya jauh hari, sebelum surat utang tersebut jatuh tempo.

“Manajemen yang baik itu adalah yang bisa mengantisipasi sejak jauh hari. Kalaupun bisnisnya tertekan imbas covid-19, manajemen sudah bisa mengantisipasi sejak tahun lalu, bukan mendekati jatuh tempo baru melakukan roll over,” tegas Kiswoyo yang dikenal juga sebagai  Head of Investment PT Reswara Gian Investa.

Kiswoyo menambahkan, kondisi gagal bayar surat utang berdampak serius terhadap reputasi dan kepercayaan publik terhadap manajemen maupun perusahaan. Terlebih jika ternyata bisnis dan fundamental perusahaan masih baik dan berjalan normal.

“Aneh jika manajemen mengaku fundamental dan operasional masih bagus, tapi tidak mampu memberikan skema terbaik dan optimal untuk membayar kewajibannya ke bondholder,” kritik Kiswoyo.

Skema penyelesaian gagal bayar surat utang yang baik, lanjut Kiswoyo, adalah perpanjangan tenor maksimal tiga tahun dengan kupon bunga normal merujuk ke bunga yang berlaku di pasar.

“Kalau mau memulihkan reputasi, jangan minta tenornya lima tahun dan diskon bunga di bawah bunga pasar. Kalau seperti itu, tidak masuk akal, sama saja mau pinjam duit publik tapi tidak mau dibebani bunga,” ucapnya.

Kiswoyo meminta regulator mewaspadai emiten yang mengaku usahanya terkena imbas covid-19, namun dalam kenyataannya masih mampu beroperasi secara baik. Hal itu bisa menjadi preseden negatif bagi iklim investasi di Indonesia.(****)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *