Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta Teliti Ecoprint Pada Media Kulit

YOGYAKARTA – Ecoprint merupakan teknik pewarnaan menggunakan bahan pewarna alam. Teknik pewarnaan pada ecoprint dilakukan dengan mentransfer warna dan bentuk pada media melalui kontak langsung.

Umumnya, teknik ecoprint diterapkan pada permukaan kain dan menghasilkan motif dengan berbagai macam bentuk dan warna. Produk yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi tinggi tersebut cukup memanfaatkan bahan alam yang ada di lingkungan sekitar. Kini, ecoprint tidak hanya dilakukan pada kain saja. Namum merambah berbagai media, seperti kulit.

Hal tersebut menjadi fokus penelitian mahasiswi Prodi Pendidikan Kriya Fakultas Bahasa dan Seni UNY, Novi Saraswati. Menurut Novi, jika dilihat dari sisi bahan, ada  dua kelompok besar kulit.

“Pertama, kulit yang telah mengalami proses pengolahan penyamakan kulit, yang biasa disebut leather atau kulit-jadi (kulit tersamak). Kedua, kulit yang belum mengalami pengolahan dengan bahan kimiawi,” ungkap Novi, Senin (07/03/2022).

Perempuan kelahiran Sleman ini menjelaskan, jenis kulit pertama digunakan sebagai bahan baku industri persepatuan dan non-persepatuan. Umumnya merupakan barang-barang terpakai (fungsional), sehingga masih alami dan merupakan bahan mentah.

Sedangkan jenis kulit yang kedua digunakan dalam seni tatah sungging sebagai bahan utama. Kulit yang masih alami tersebut dalam dunia perkulitan biasa disebut sebagai kulit perkamen atau kulit mentah.

Ditambahkan gadis yang lahir pada 11 Maret 1996 tersebut, dirinya melakukan penelitian di home industry Batik Kampung Ngadiwinatan, Ngampilan, Kota Yogyakarta. Bengkel Batik Kampung merupakan salah satu usaha yang bergerak di bidang kerajinan atau kriya tekstil dan kulit.

Pada awalnya, Bengkel Batik Kampung hanya menerapkan teknik pewarnaan ecoprint pada kain saja. Akhir 2018, mereka mulai mencoba kulit sebagai media dalam menerapkan teknik ecoprint tersebut.

“Bahan baku yang digunakan untuk pewarnaan (ecoprint) di Bengkel Batik Kampung adalah kulit domba, tawas, tunjung, kain katun, cuka, soda abu, plastik wrap, air, tali (rafia), bunga (kenikir, kamboja) dan daun (pucuk daun jati, daun lanang, daun jarak wulung, daun kalpataru, serta daun papaya jepang),” kata alumni SMKN 1 Kalasan ini.

Bahan baku diperoleh dari toko-toko yang ada di  Kota Yogyakarta. Sementara air, bunga, dan daun diperoleh dari lingkungan tempat tinggal mereka.

Proses ecoprint di Batik Kampung diawali dengan mordanting, yaitu untuk meningkatkan daya serap kulit  terhadap zat pewarna alami. Juga untuk membersihkan dan membuka pori-pori kulit, sehingga warna yang dihasilkan lebih maksimal.

Lalu, dilanjutkan dengan treatment kulit dan daun. Treatment daun bertujuan membersihkan segala kotoran yang menempel pada daun. Selain itu, treatment daun dilakukan agar warna yang muncul lebih pekat dan maksimal. Ada beberapa jenis daun yang tak perlu mendapat treatment, seperti daun lanang dan daun jati. Demikian juga untuk semua jenis bunga tidak perlu mendapat proses treatment.

Selanjutnya, proses ecoprint dengan teknik menutup kulit dengan kain katun yang diberi pewarna alami (iron blanket), pengukusan, dan finishing.

Warga Nglengkong Sambirejo Prambanan ini mengatakan, hasil karya ecoprint pada media kulit bisa dibuat menjadi berbagai macam kerajinan. Seperti sepatu, tas, hingga busana semacam rompi kulit, dress, kemeja, atau celana.

“Kami berharap produksi yang sudah berjalan selama ini di Bengkel Batik Kampung selalu menjaga dan meningkatkan kualitas produk, agar mampu bersaing dikancah internasional. Selain itu, dalam mendesain suatu produk, sebaiknya memperhatikan nilai ergonomi, baik  segi fungsi, estetika, pengguna, dan lainnya,” katanya.(****)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *