Tingkat Kesejahteraan Petani Didukung Pertumbuhan Positif Sektor Pertanian
YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 sudah berlangsung dua tahun, tidak hanya melahirkan cerita duka bagi petani. Namun, juga suka cita yang dialami. Para petani cenderung mendapat “keuntungan tak terduga,” dengan terjadinya nilai tukar petani (NTP) yang naik yang dipicu kenaikan harga sejumlah komoditas produk pertanian selama dua tahun terakhir.
Rektor Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec menyatakan, ekonomisasi kaum petani meningkat, membawa mereka kehidupannya lebih sejahtera. Ibaratnya mereka makin “gendut” dompetnya.
“Nilai tukar petani (NTP) pada 2019 pada angka 100,90. Memasuki awal pandemi pada Maret – Desember 2020, terjadi kenaikan angka NTP menjadi 103,25. Ketika pandemi memasuki puncaknya pada kuartal awal sampai akhir 2021, NTP petani tetap naik lagi menjadi 104,64. Ini maknanya ekonomi petani makin membaik pada masa pandemi. Hal demikian mengacu pada data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal 2022,” kata Prof Edy Suandi Hamid saat disampaikan dalam Webinar tentang Refleksi Dua Tahun Pandemi Dalam Perspektif Ketahanan Pangan dan Kebugaran Jasmani, kolaborasi UWM dan Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta, Selasa (29/03/2022). Dua pembicara lainnya adalah Wakil Rektor III UWM Puji Qomariyah, S.Sos, M.Si, dan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UTP Dr. Joko Sulistyono, M.Pd.
Ia menambahkan, situasi tersebut menunjukkan pendapatan ekonomi petani terus naik dan dompet mereka semakin tebal. Selama pandemi, terjadi kenaikan harga sejumlah komoditi seperti harga cabai, telur, sayur, dan lainnya. “Kenaikan angka nilai petani bisa dibaca bahwa pendapatan petani mengalami kenaikan dibanding dengan pengeluaran,” ungkap dia.
Sejauh ini, tingkat kesejahteraan petani didukung pertumbuhan positif sektor pertanian. Pada kuartal empat akhir 2020, angka pertumbuhan sektor pertanian mencapai 2,63 %, berikutnya pada awal kuartal pertama 2021 tumbuh positif 3,44 % (y-o-y). Sedang sektor lain, seperti industri pengolahan terjun bebas alias mengalami pertumbuhan negatif pada angka -0,71 % (y-o-y).
Apabila disimak lebih dalam, sektor pertanian menyumbang angka PDB (Produk Domestik Bruto) atas lapangan usaha sebesar 13,5 % kuartal dua tahun 2019, dan 15,4% pada kuartal dua 2020.
Sementara itu, Wakil Rektor III UWM Puji Qomariyah, S.Sos, M.Si menyatakan, pangan sebagai kebutuhan pokok manusia yang diperlukan pemenuhan untuk kelangsungan hidup sehat, aktif dan produktif. Agar terjadi pemerataan kebutuhan, maka ketersediaan dan akses yang stabil dari segi harga, distribusi, dan kualitas menjadi syarat mutlak.
Syarat tersebut bisa terkendali dalam memuhi sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun.
Mahasiswa doktoral Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta ini menegaskan, konsumsi pangan akan cenderung meningkat di seluruh dunia. Proyeksi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan populasi penduduk dunia di tahun 2050 mencapai lebih dari 9 miliar jiwa. Pada saat itu, dunia memerlukan tambahan pangan sebesar 70% dibandingkan saat ini (2022).
Ketika pertambahan penduduk dan ketersediaan tidak seimbang, maka problem pangan muncul dari segi akses masyarakat terhadap bahan pangan. “Saat demikian terjadi rawan pangan,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan kondisi tersebut perlu antisipasi pemerintah Indonesia. “Pemerintah harus terus berupaya menyediakan makanan pokok seperti beras dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,” pungkasnya. (****)